Senin, 14 Januari 2019





Review film "Keluarga Cemara" 


Disutradarai oleh Yandy Laurens

Diperankan oleh :
Emak (Nirina Zubir)
Abah (Ringgo Agus Rahman)
Euis (Adhisty Zara JKT48)
Ara (Widuri Sasono)

RATING : 8.5/10
Sinopsis :
Menceritakan keluarga yang perusahan Abah (Ringgo Agus Rahman) bangkrut dan jatuh miskin. Cerita dimulai saat keluarga tersebut berusaha beradaptasi dan memulai hidup barunya di rumah masa kecil Abah di pinggiran Kota Bogor. Abah berusaha mencari pekerjaan kembali untuk menghidupi keluarganya dari nol. Emak (Nirina Zubir) yang selalu menjadi pendorong dan energi bagi abah untuk bangkit. Putri pertama, Euis (Adhisty Zara), yang berusaha beradaptasi dengan sekolah dan teman-teman barunya. Serta Ara (Widuri Sasono) yang selalu jadi penyejuk di setiap kesulitan yang di hadapi keluarga tersebut dengan tingkah lucunya. Hingga akhirnya keluarga tersebut menyadari bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga, seperti yang dinyanyikan pada salah satu soundtrack film.

Review :
Dalam film drama keluarga ini saya merasakan beberapa hal yang unik dan menarik. Hal tersebut bisa jadi pembuktian dari beberapa pendapat dari kerabat kita akan film ini terkesan positif. Tapi apakah film ini se-positif yang diceritakan oleh kerabat-kerabat kita? Yuk kita amati lebih dalam.

1.  Cerita yang Berhasil Menarik Ulur Emosi Penonton
Dalam film ini, saya melihat dari keseluruhan scene, sutradara sukses memainkan emosi penonton. Scene dengan moodharu atau yang selalu membuat kita berkaca-kaca hingga menangis seperti saat Abah berusaha mencari pekerjaan lebih keras atau saat Abah benar-benar frustasi karena merasa bahwa kejadian yang menimpa keluarganya adalah tanggung jawabnya.
Scene-scene seperti ini selalu diiringi dengan scene dengan unsur komedi-komedi ringan yang juga selalu sukses membuat kita tersenyum kembali bahkan tertawa seperti tingkah laku Ramli, sahabat bapak dari kecil (atau saudara ya? saya lupa, hehe), Ceu Salma (Asri Welas) yang sangat spontan dan (over) percaya diri, teman-teman Euis di sekolah hingga Ara dengan tingkah polos khas anak kecil.
Pola seperti ini terjadi beberapa kali hingga saya sadar, saya berkaca-kaca lalu tertawa hingga beberapa kali, hahaha. Hayo siapa yang sadar juga? Hal ini saya perkirakan menjadi salah satu treatment dari sutradara mempertahankan cerita agar tidak sampai sangat tragis dan mempertahankan moodpenonton agar tidak bosan menangis terus di dalam studio, haha.  

2.  Pemeran Ringgo, Nirina dan Beberapa Pemeran Pendukung yang Spesialis Komedi
Sebelum menonton filmnya saya hanya tahu pemerannya adalah Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir sebagai Abah dan Emak. Dan menurut saya ini menarik, karena ini film drama keluarga namun beberapa pemeran utamanya adalah aktris dan aktor spesialis komedi. Yaa siapa sih yang tidak kenal Ringgo dan Nirina Zubir yang mulai naik karirnya di sekuel film Get Married 1 hingga 5.
Dan menurut saya dari bermain pada sekuel film tersebut sangat kuat kesan drama komedi yang ada pada Ringgo dan Nirina. Tapi setelah menonton filmnya, saya mulai menyadari dari pemeran-pemeran pendukung mayoritas juga adalah aktor dan aktris yang juga memiliki kesan yang kuat pada drama komedi, seperti Asri Welas, Bang Tigor/Jaitov Tigor, pemeran Ramli (siapa nama aslinya ya?), hingga teman-teman Euis di sekolah barunya.
Namun anehnya, justru adegan-adegan komedi dari pemeran pendukung tersebut hanya sebagai pemanis untuk mengangkat mood film menjadi netral kembali setelah berharu-haru ria dengan keluarga Abah. Selain itu komedi-komedi tersebut berangkat dari pemeran-pemeran pendukung + Ara, saya lihat sangat jarang Ringgo dan Nirina beradegan komedi.

3.  Fokus ke Cerita Abah
Dalam film ini, sudut pandang tokoh-tokoh utama yang ingin di angkat adalah keluarga yang terdiri dari empat orang, yakni Abah, Emak, Euis dan Ara. Namun yang saya lihat cerita dari awal hingga akhir lebih berfokus dan banyak porsinya pada sudut pandang Abah sebagai kepala keluarga. Memang tidak banyak jumlah perbedaan porsi pada setiap tokoh utama namun sangat terasa porsi mayor cerita ada di sudut pandang Abah. Mungkin hal ini yang dijadikan benang merah cerita oleh sutradara untuk tetap pada awal konflik yakni kesalahan Abah sehingga keluarga jatuh missqueen hingga bagaimana keluarga ini bangkit. Tapi sudut pandang Abah ini benar-benar membuka mata saya, oh begini to manis pahitnya jadi kepala keluarga :’)

4. Breaking the Fourth Wall
Pernah kah kalian menyadari pada film Keluarga Cemara the Movie ini Ramli, Ceu Salma dan beberapa pemeran pendukung lainnya sering memanggil/menyapa Abah (Ringgo) dengan sebutan Abah. Dalam istilah Jawa hal ini disebut “Nyelukno" yang berarti memanggilkan. Contoh lainnya, saat nenek kita bertanya dimana ayah kita, yang notabene ayah kita adalah anak dari nenek, nenek akan bilang seperti ini : Ayahmu di mana?, tidak bilang : Anakku di mana? Dan masih banyak lagi contoh serupa dalam keluarga, biasanya terjadi pada komunikasi lintas generasi. 
Namun "nyelukno"  dalam film ini menjadi janggal karena saat scene di mana teman sebaya Abah memanggilnya dengan sebutan Abah tidak ada sosok Euis atau Ara yang notabene adalah anak Abah. Sempat berdiskusi dengan teman tentang hal ini, dan ada asumsi jika “Abah” adalah sebutan untuk orang yang disegani di kampung/lingkungan tersebut, menjadi seperti orang yang lebih dituakan dan diutamakan.
Akan tetapi dari awal hingga akhir film tidak dijelaskan bahwa Abah disini pernah melakukan sesuatu yang membuat warga kampung dan lingkungannya segan kepadanya. Di sini terjadi pertanyaan, siapa yang di “celukno” (dipanggilkan) oleh teman-teman sebaya Abah? 
Lalu saya teringat Teori pertunjukan teater Breaking The Fourth Wall yang dikemukakan Denis Diderot yang juga sering diaplikasikan dalam film. Teori Breaking The Fourth Wall(Mendobrak dinding ke empat) mengibaratkan dalam sebuah pentas teater/film frame di dalam screen seakan dibatasi oleh dinding-dinding khayalan, yakni dinding belakang, kanan, kiri dan yang terakhir dinding yang membatasi dimensi dalam film dengan penonton atau biasa disebut dinding keempat. Dan pendobrakan dinding tersebut biasanya ditandai dengan interaksi antara pemeran dengan penonton dengan sengaja. 
Contoh : Dalam animasi film Spiderman, beberapa kali Spiderman berbicara kepada penonton. Teori ini ditujukan untuk membangun awareness dari penonton bahwa penonton juga terlibat di dalam cerita film/teater.
Oleh karena itu saya berasumsi panggilan Abah kepada Ringgo saat tidak ada anak-anak dari Abah tersebut ialah sebuah implementasi dari Breaking the Fourth Wall, dengan kata lain para pemeran tersebut “nyelukno” Abah untuk penontonnya. Dan secara tidak sadar film membangun kedekatan emosional antara Ringgo sebagai Abah dengan kita penontonnya seakan-akan ia adalah Abah kita semua, ceileh… btw jadi serius banget ini review?

Kesimpulan :
Film ini adalah film yang sangat sukses. Tidak hanya sukses di remake dan menjadi sarana nostalgia bagi penonton serial Keluarga Cemara di televisi pada tahun 90 an, namun juga menjadi tontonan yang fresh bagi kaum muda milenial saat ini. (iel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar